Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Membingungkan di Kabupaten Gunakan 2 Alat Ukur Prevalensi Stunting

Avatar photo
Foto. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, Robert Amaheka.
Foto. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, Robert Amaheka.

Oelamasi, Kupangberita.com, — Masalah stunting menjadi perhatian serius di Kabupaten Kupang,  Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Berbagai upaya kolaborasi terus dilakukan melalui  lintas sektor hingga aksi orang tua asuh stunting oleh lintas OPD di pemerintah Kabupaten Kupang.

Namun, fakta yang terjadi di Kabupaten Kupang malah membingungkan karena mengunakan dua alat ukur prevalensi stunting.

Hal tersebut disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kupang, dr. Robert Amaheka, Rabu (26/07) kepada media Kupang Berita di Oelamasi.

Menurut Robert, data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), tidak bisa dipakai untu menghitung prevalensi penurunan stunting di suatu wilayah.

“Alat ukur yang dipakai dan dapat dipertanggungjawabkan secara nasional adalah Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Balita Berbasis Masyarakat (e-PPGBBM).

E-PPGBBM mengambil sampel bayi/balita di suatu wilayah secara acak dan menyeluruh.

Sementara SGGI mengambil sampel  di atas 20 persen. Diantara  data di atas 20 persen mengambil sampel lagi di desa lokus yang angka stuntingnya di atas 20 persen.

Baca Juga:  Kapolda NTT Bagi Sembako dan Bantuan Sosial di Kabupaten Kupang

Sehingga perhitungan prevalensi stunting mengunakan data SGGI, maka apa yang dikerjakan selama ini secara kolaborasi lintas sektor itu sia-sia,”kata dr. Robert.

Oleh karena itu, Ia meminta  harus ada ketegasan dari pimpinan daerah jangan munculkan lagi  data dari SGGI.

“Sesuai data SGGI, data keluarga yang beresiko stunting di Kabupaten Kupang mencapai 30-an ribu. Tapi, sampai dengan hari ini data by name by address tidak ada.

Sementara kita tidak tahu data orangnya tunjukkan cara kerjanya seperti apa? Dan datanya di peroleh dari mana? Dan cara kerja seperti apa sehingga stunting bisa turun,” tanya Amaheka.

“Jangan membuat dualisme pengukuran stunting di suatu wilayah.

Jika salah satu alat ukur yang dipakai maka seharusnya alat ukur yang lain harus disingkirkan,”tegasnya.

Menurut Kepala Dinas kesehatan,  ini bentuk upaya untuk memboikot aksi konvergensi penurunan stunting di Kabupaten Kupang.

Aksi konvergensi stunting dengan mengunakan alat ukur e-ppbgm, sudah berlangsung sejak tahun 2017.

Sementara tahun 20021 muncul lagi alat ukur menggunakan SGGI.

Baca Juga:  Sidak di 3 Puskesmas, Penjabat Bupati Kupang Minta Nakes Berikan Pelayanan yang Terbaik

“Jika tetap menggunakan data SGGI, maka tampilkan data by name by address ada di mana sehingga kita perlu penanganan pada lokus daerah tersebut.

Rumus perhitungan e-PPBGM itu jelas, dihitung berdasarkan jumlah bayi balita yang ada di suatu tempat, dia datang timbang dengan kehadiran diatas 80 persen baru dapat dilakukan evaluasi.

SGGI itu, sebagai alat survei yang katanya data prevalensi stunting di Kabupaten Kupang ada 30-an ribu lebih  keluarga beresiko stunting.

Data sebanyak itu dimana, nama-namanya siapa-siapa saja dan disebutkan sehingga kita perlu penanganan,”kata dr. Robert.

Menurut dr. Robert alat ukur yang dipakai berbeda untuk mencapai tujuan bersama, itu tidak akan tercapai.

“Alat ukur atau indikator yang dipakai SGGI, tidak jelas ukuran indikatornya dan mengunakan indikator apa.

Sementara alat ukur dan indikator  yang dipakai  e-PPBGM selama ini yang dijalankan yakni intervensi spesifik dan sensitif,”pungkas dr. Robert Amaheka.***


Powered By NusaCloudHost