Tanah Kami Dirampas: Jeritan Petani Kupang di Tengah Tumpulnya Hukum dan Relasi Kuasa

Reporter : Makson Saubaki
Potret Soleman Matamtasa berdiri di lahan sengketa di Desa Oeteta, Kupang, dengan latar tanaman yang rusak akibat penggusuran.
Potret Soleman Matamtasa berdiri di lahan sengketa di Desa Oeteta, Kupang, dengan latar tanaman yang rusak akibat penggusuran.

Kupang, KBC — Di bawah langit cerah Desa Oeteta, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang,Nusa Tenggara Timur tersimpan kisah getir tentang tanah, kehormatan, dan perjuangan.

Tanah seluas 2.000 meter persegi kini menjadi simbol luka yang mendalam bagi keluarga Matamtasa, warga yang telah merawat dan hidup dari tanah tersebut selama lebih dari tiga dekade.

Soleman Matamtasa (62), petani setempat, mengaku telah menggarap lahan itu sejak tahun 1986.

Tanah tersebut telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka, bahkan telah bersertifikat resmi atas nama anaknya, Ariyanto Matamtasa, sejak 2017.

Namun, semua berubah ketika lahan itu tiba-tiba diklaim dan dijual sepihak tanpa sepengetahuan mereka.

“Kami bukan orang asing di tanah ini. Kami tanam, kami panen, dan dari sini kami hidup. Tapi sekarang, kami diperlakukan seolah tak pernah ada,” ujar Soleman, dengan mata berkaca-kaca saat ditemui di Oelamasi, Rabu (14/5).

Akar permasalahan berawal dari warisan adat mendiang Markus Ponis yang menyerahkan lahan kepada keponakannya, Damaris Taklal—istri Soleman—dan Abraham Taklal.

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp KupangBerita.Com

+ Gabung

Exit mobile version