Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Tanah Kami Dirampas: Jeritan Petani Kupang di Tengah Tumpulnya Hukum dan Relasi Kuasa

Avatar photo
Reporter : Makson Saubaki
Potret Soleman Matamtasa berdiri di lahan sengketa di Desa Oeteta, Kupang, dengan latar tanaman yang rusak akibat penggusuran.
Potret Soleman Matamtasa berdiri di lahan sengketa di Desa Oeteta, Kupang, dengan latar tanaman yang rusak akibat penggusuran.

Di masyarakat adat NTT, pengelolaan tanah umumnya berpijak pada asas kekeluargaan dan kebermanfaatan. Namun, konflik mencuat saat Yunus Taklal, anak dari Elisabet Ponis (adik Markus), mengklaim hak atas tanah itu meski status pernikahan orang tuanya tidak tercatat secara resmi.

Ironisnya, Yunus kemudian menjual tanah itu kepada Eklopas Taklal, yang pada Oktober 2024 diduga merusak tanaman produktif milik keluarga Matamtasa.

Scroll kebawah untuk lihat konten
Ingin Punya Website? Klik Disini!!!

Laporan yang diajukan ke Pospol Oeteta belum juga ditindaklanjuti, memperkuat kekecewaan terhadap institusi penegak hukum.

Baca Juga:  Doa Seorang Ibu yang Menggetarkan Kekuasaan: Tangis Imelda dan Teror di Kupang

“Kami percaya hukum, tapi hukum tak percaya kami. Kami tak punya kuasa, cuma tanah ini yang kami punya. Sekarang itu pun mau dirampas,” ucap Soleman dengan suara bergetar.

Yang lebih memilukan, Elisabet Ponis—ibu dari Yunus yang menggugat mereka—masih dirawat oleh keluarga Matamtasa di rumah yang berdiri tepat di atas tanah sengketa itu.

Bagi keluarga ini, persoalan bukan hanya tentang legalitas, tetapi tentang kemanusiaan dan rasa hormat antar anggota keluarga.

Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp KupangBerita.Com

+ Gabung


Powered By NusaCloudHost