Kupang, KBC — Di suatu pagi yang tenang di Kabupaten Kupang, sebuah foto yang sederhana namun mengguncang nurani beredar di sebuah grup WhatsApp.
Dalam foto itu tampak dua murid SD Fatunaus duduk bersimpuh di belakang gedung sekolah. Mata mereka sembab, wajah mereka menunduk, menangisi kenyataan pahit bahwa mereka tidak diperbolehkan mengikuti asesmen akhir semester.
Foto tersebut diambil dan diunggah oleh seorang ibu — bukan seorang aktivis, bukan pula jurnalis — hanya seorang ibu biasa yang tak tahan menyaksikan ketidakadilan.
Ia memutuskan untuk berbicara melalui gambar, berharap keadilan akan datang. Dan datanglah gelombang itu.
Warga grup WhatsApp mulai berbagi, menyuarakan keprihatinan, hingga kabar ini merambat liar di dunia maya.
Media sosial pun menjadi medan tempat masyarakat bertanya: “Mengapa dua anak ini dikecualikan?”
Namun, ketika kebenaran viral, harga yang harus dibayar tidaklah kecil. Ibu yang pertama kali mengunggah foto itu dipanggil oleh pihak sekolah.
Ia tidak diberikan ruang untuk dialog, melainkan ultimatum: anak-anaknya harus dimutasi. Sebuah bentuk hukuman sosial yang sering kali menjadi senjata sunyi institusi untuk meredam suara kebenaran.
Meski kemudian Dinas Pendidikan turun tangan setelah tekanan publik, dan dua murid tersebut akhirnya dikembalikan ke sekolah, aroma ketidakadilan belum benar-benar hilang.
Berita Terkini, Eksklusif di WhatsApp KupangBerita.Com
+ Gabung
Tetap Terhubung Dengan Kami:
Ikuti Kami
Subscribe
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.










