Kupang, KBC – Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) merupakan kejahatan luar biasa yang merampas dan melanggar hak asasi manusia (HAM).
TPPO umumnya terjadi pada lingkungan atau situasi ketika realitas kemiskinan berbenturan dengan harapan rakyat untuk keluar dari kemiskinan.
Harapan atau angan-angan inilah yang dimanfaatkan sejumlah pihak (sindikat) untuk melakukan perdagangan orang (human trafficking).
Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema mengatakan TPPO adalah bentuk kejahatan yang terorganisir dan mengacu pada kejahatan yang melibatkan eksploitasi ekonomi terhadap manusia.
Perdagangan orang biasanya dilakukan oleh kelompok kejahatan lintas negara ataupun daerah yang melakukan suatu perbuatan melanggar ketentuan ketenagakerjaan dan imigrasi.
Fakta menyedihkannya adalah NTT menjadi provinsi dengan kasus TPPO yang tinggi.
Komisi Nasional HAM mencatat, berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) tahun 2020-2024, setidaknya terdapat 3.700 Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjadi korban TPPO di wilayah Asean (baca di: https://regional.kompas.com/read/2024/06/27/144342978/komnas-ham-sebut-kasus-tppo-di-ntt-memprihatinkan-ini-modus-yang-kerap).
Dari tiga ribuan kasus tersebut, sedikitnya 657 PMI asal NTT pulang dalam kondisi tidak bernyawa.
“TPPO adalah kejahatan yang bertentangan dengan harkat, martabat kemanusiaan, dan melanggar HAM.
Perlu upaya serius dan sinergi antar para pemangku kepentingan serta kementerian/lembaga untuk bisa mengatasi persoalan tindak kejahatan super mengerikan ini,” ujar Ansy Lema.
Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ini mengatakan untuk membawa NTT keluar dari jerat perdagangan orang harus dimulai dari hulu ke hilir, mengungkap akar masalahnya dan menemukan solusi mengatasinya.
Pertama, persoalan pada sisi hulu yaitu penciptaan lapangan kerja yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat harus diupayakan.
Mayoritas masyarakat yang menjadi korban TPPO adalah masyarakat miskin.
Kedua, koordinasi pada sisi hilir dengan berbagai pemangku kepentingan.
Dirinya menjelaskan perlu adanya perumusan Rencana Aksi Daerah (RAD) khusus untuk membahas pencegahan dan penindakan TPPO.
RAD ini harus melibatkan berbagai komponen pemerintah lintas kedinasan hingga lembaga non pemerintah, seperti Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Kementerian Sosial (Kemensos), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KDPDTT), Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) hingga Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Lembaga non pemerintah juga harus dilibatkan, seperti Non Governmental Organization (NGO), Organisasi Perempuan dan Anak, para pekerja migran hingga lembaga keagamaan.
Tetap Terhubung Dengan Kami:
CATATAN REDAKSI: Apabila Ada Pihak Yang Merasa Dirugikan Dan /Atau Keberatan Dengan Penayangan Artikel Dan /Atau Berita Tersebut Diatas, Anda Dapat Mengirimkan Artikel Dan /Atau Berita Berisi Sanggahan Dan /Atau Koreksi Kepada Redaksi Kami Laporkan,
Sebagaimana Diatur Dalam Pasal (1) Ayat (11) Dan (12) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.