Scroll Ke bawah untuk melanjutkan

Opini  

Catatan Kritis Terhadap Refleksi Kritis 4 Tahun Victor – Joss

Avatar photo
b841550a 7cf8 45cb 967f 7929288e9e2b e1664250302799

Oleh Marsel Robot
Dosen Undana dan Budayawan

Kupangberita.com —– Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) NTT menyelenggarakan diskusi publik bertajuk: “Refleksi Kritis 4 Tahun Victor-Joss”, Kamis 8 September lalu di Aula El Tari Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Dalam ritual ilmiah itu menghadirkan Gubernur Nusa Tenggara Timur  Victor B. Laiskodat, Wakil Ketua DPRD Provinsi NTT Dr. Inche Sayuna. Rektor Unika Dr. Filiphus Tule, SVD, Pakar Hukum Tata Negara Undana Dr. John Tubahelan, S.H., M.H. Pakar Ekonomi UKW Zeth Malelak. Dimoderatori oleh Michael Rajamuda Bataona (Dosen Komunikasi) Unika.

Gedung yang Tak Bercerita
Hari itu, cuaca Kupang begitu cuek.  Terlihat  mendung menggantung, ternyata  mengandung terik yang menyiksa. Pohon-pohon yang tulus menggantung angin gersang seakan menyisihkan optimisme di kotak sampah sejarah.

Diskusi itu diselenggarakan di aula El Tari  (kantor gubernur). Aula itu begitu modis, berbentuk tribun, buah tangan mantan Gubernur Herman Musa Kabe.

Menikmati suasana dalam gedung terasa ada yang  tak kelar. Minimal tergenang kekecewaan dalam aula itu. Pertama, tampilan aula  yang sering menyelenggarakan pertemuan penting orang-orang  penting, dan mungkin orang berkepentingan itu begitu miskin nuansa.

Tak ada aksesori yang membuat ruang itu “bermakna.” Semisal,  potret   yang memperlihatkan keindahan  alam Nusa Tenggara Timur (gambar berbagai objek wisata alam) atau keesotikan budaya, atau wisata atraksi. Juga, tidak ada televisi raksa- raksa yang  mempromosikan ketakjuban pantai Liman di Pulau Semau (Kabupaten Kupang), atraksi Pasola (Sumba), atraksi Caci (Manggarai), atraksi penangkapan ikan paus (di Lamalera, Lembata), keunikan Pantai Mulut Seribu (Rote) yang disertai dengan narasi yang ranum.

Dengan kata lain, aula itu tidak  menceriterakan apa-apa,  baik secara visual maupun secara audiovisual kepada peserta diskusi.

Peserta duduk  suntuk menunggu acara hanya bermain telepon genggam (handphone). Padahal, di aula itu pula, puluhan kali Gubernur Viktor Laiskodat mewartakan sektor pariwisata sebagai prime mover (penggerak utama) pembangunan menuju NTT bangkit, NTT Sejahtera.

Aula itu menyuguhkan  ironi bahwa promosi pariwisata masih seluas halaman bibir atau  sejauh gaung retorika.

Diskusi Tanpa Dialektika

Sejauh pengalaman saya, diskusi ini salah satu diskusi yang buruk. Beberapa penyebabnya. Pertama, tata cara diskusi yang konvensional. Para pemakalah melakukan panel dengan distribusi waktu yang tidak seimbang antara penelis satu dengan panelis lainnya. Dengan demikian, panelis tidak mencangkul lebih dalam fenomena yang hendak dimutilasinya. Lagi pula,  konten pembahasan   terpanggang jauh dari realitas empirik.

Kedua, panelis tidak  representatif. Tiga orang  panelis itu adalah akademisi yang banyak meniupkan ilusi teoritis di ruang yang tanpa makna itu. Buah pikiran yang jatuh dari pohon perspektik etik semata (dari perspektif orang luar-kita). Bicara tentang kemiskinan, kurang gizi dari perspektif “ke-kita-an.”

Sedangkan rakyat diposisikan sebagai  pasien pembangunan yang tak berdaya, kecuali pada musim tertentu diperdayakan.

Rakyat seakan tidak berpengetahuan tentang diri mereka, tentang kemiskinan, tentang kemanusiaan.

Kita memang cenderung tidak tahu diri sehingga  tidak ada kesempatan untuk berpikir dari perspektif   “emik” (pendapat masyarakat). Semisal,  bagaimana orang Suku Boti mendefinisikan  kemiskinan atau stunting. Atau bagaimana konsep keadilan sosial menurut orang Lamalera, konsep kemanusiaan menurut orang Sumba.

Semestinya dihadirkan pula panelis dari pihak  Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), aktivis lembaga nonpemerintah  yang paling dekat dengan masyarakat, menghirup aroma badan petani di pedalaman, mendengar dan meringkas kegelisahan sosial dan berpengalaman mengelola keluh-kesah  masyarakat. Juga, seniman, budayawan, yang melihat pembangunan dengan cara induktif dan kemampuan mata batin untuk merekam genitnya pemerintah menatap rakyat dengan cara berpikir generatif.

Tidak kelihatan aktivis kemanusiaan yang menyuarakan getar-getir kehidupan migran asal NTT di negeri lain yang menjanjikan keju dan madu. Padahal, ia pergi dengan selendang kuning, tetapi pulang dengan selendang kafan.

Ketiga, para panelis  gagal mendefinisikan rakyat dan kemiskinan. Pemikiran yang terlalu generik hingga kehilangan signifikansi kontekstualisasinya. Itu tadi, kemiskinan selalu didefinisi dari perspektif  etik (orang luar). Tidak didefinisikan dari perspektif  emik (dari masyarakat itu sendiri).

Sekadar contoh, orang Suku Boti (Timor Tengah Selatan) tidak menerima bantuan  apapun selama itu bukan hasil kerja mereka.

Menerima sesuatu bukan hasil keringatnya adalah tak pantas dalam tata peradaban Boti.Jika seseorang kedapatan mencuri ayam, maka kepala suku akan mengumpul seluruh warga kampung untuk mengumpulkan ayam dan diberikan kepada pencuri tadi.

Jika Anda bertandang ke pantai Lamalera di satu pagi. Anda akan melihat sejumlah ibu atau pria yang pulang melaut, mereka membawa ikan, hasil tangkapan.

Siapapun yang berada di pantai itu, termasuk Anda atau orang asing akan dibagikan ikan, tiram, atau kerang hasil tangkapan mereka.

Bagi mereka, orang yang  mereka temui di tepi pantai itu  adalah laut.  Sebab, laut adalah ladang yang menjadi sumber rezeki mereka. Memberikan ikan hasil tangkapan, maka laut akan memberikan rezeki yang berlipat ganda kepada mereka. Maka, jadilah pantai itu sebagai radar kemanusiaan.

Di pasar Wulandoni (Lamalera) ada pasar barter (pasar menukar barang dengan barang). Ubi, pisang, jagung  yang dibawa oleh penduduk dari gunung. Kemudian, ditukar dengan daging ikan paus, atau jenis ikan lainnya dari masyarakat pantai (Lamalera).

Uang tidak digunakan dalam bertransaksi di pasar itu. Sebab, bagi mereka, uanglah biangkerok yang menyebabkan semuanya menjadi murahan.

Pasar itu lebih mementaskan perjamuan kemanusiaan. Pengalaman-pengalaman kebudayaan seperti itu terjadi di daerah lain dengan tampilan yang berbeda.

Inilah, cara pandang emik yang selalu alpa dalam setiap diskusi tentang rakyat, kemiskinan dan, kemanusiaan.

Reaksi Gubernur

Dari pojok paling kiri aula  itu, saya mengamati secara cermat perilaku nonverbal Gubernur Victor Laiskodat. Ia selalu mendengar dengan cermat setiap pemaparan panelis. Satu isyarat yag paling kuat dari sekumpulan gesture (gerak tubuh) gubernur ialah tangan kanannya sering mengeluskan kepalanya.

Ia seakan berkata, “apa yang Anda katakan itu sesungguhnya saya telah mengetahuinya.” “ Atau sebaliknya, Anda boleh bicara seperti itu, kenyataan saya alami di lapangan sangat berbeda.”

Karena itu, ketika sesi diskusi tiba, Gubernur Laiskodat begitu bergairah melahap pandangan  Zet Malelak yang begitu melodis sambil menenteng teori ekonomi dari Rostow. Mungkin itulah yang menyebabkan Gubernur Victor Laiskodat mengelus ulang-ulang kepalanya.

Setidaknya ia bertanya, seberapa relevan Rostow bagi orang Kodi (di Sumba), orang Lempang Paji (di Manggarai Timur), atau Aplal (di Timor Tenga Utara).

Semua pembahasan dari panelis  dan pertanyaan dari peserta diskusi disapu bersih oleh Gubernur Victor. Misalnya, tentang situasi pendidikan NTT yang digelisahkan oleh P. Philip Tule dengan data yang bernas.

Dengan enteng Gubernur Laiskodat mengatakan, mahasiswa tidak perlu menyusun  skripsi. Seandainya, sesekali  gubernur ke kampus menyaksikan  keadaan mahasiswa kita dewasa ini, ketahuan bahwa sedang aliansi akademik.

Mereka hidup di kampus, tetapi secara akademis mengalami keterasingan dari kampusnya. Mereka, baru menjadi mahasiswa yang sebenarnya ketika ia memasuk semester tujuh dan  hendak menulis skripsi.

Ia mulai membaca, ia mulai mengunjungi  perpustakaan. Celakanya lagi, terjadi prostitusi  ilmiah di kalangan mahasiswa, mungkin juga dosen dengan Om Google (internet).

Di dunia senyap itu justeru terjadi revolusi copy paste. Hasilnya adalah kecerdasan artifisial, kecerdasan  tempelan. Dan sistem pendidikan kita cenderung membodohkan peserta didik.

Satu hal menarik ketika diskusi kritis dari John Tubahelan, tentang  ratusan peraturan daerah (perda) yang usianya tidak setahun jagung. Perda berisikan hawa nafsu kepentingan, sehingga usianya begitu pendek.

Diskusi ini sangat penting didiskusikan oleh karena perda menjadi instrumen hukum baik level keputusan hingga level praktiknya.

Sayangnya  tema itu tidak banyak didiskusikan.  Akan tetapi,  hakikat diskusi adalah menyediakan ruang rangsang untuk membiakkan dan menimbulkan ide-ide brilian.

Menyisihkan sebagian permasalahan untuk dibawah pulang oleh peserta dan panelis ke ruang diskusi berikutnya. Dan puisi saya gagal gugur dalam diskusi itu. Sebab, menjadi rakyat Nusa Tenggara Timur  tidaklah gampang. Ia harus pandai bernyanyi agar bisa menggubah penderitaan menjadi hiburan. ( Catatan  Artikel ini sudah dimuat di Pos Kupang, 4 Oktober 2022).